(ditulis pada tahun 2019, sebelum pandemi) Ketika gue makan snack atau bawa apapun itu yang berkemasan plastik, langsung gue buang ke tempatnya atau gue keep dulu di tas sebelum akhirnya bisa menjangkau tempat sampah terdekat untuk membuang sampah tersebut. Gue ajarin hal kecil ini ke Shireen, adik terakhir gue. Alhamdulillah dia ngerti dan gak buang sampah sembarangan. Ya, walaupun lagi makan jajanan di rumah gak langsung dibuang, seenggaknya dia udah paham habitat sampah yang benar. Kadang juga gue suka ngingetin temen yang lagi bareng sama gue pas dia buang sampah asal-asalan: kolong kursi kampus, bangku depan perpus, kopertais, Masjid Fathullah, dan tempat-tempat lain. Bukan cuma sampah gue, sampah di tempat umum kadang gue ambil dan buang. Dan gak jarang gue nerima tanggapan positif dan negatif dari temen, bahkan nyokap gue sendiri. "Rajin amat sih." "Panutan." "Et deh, kerajinan lo, Wid." "Ngapain sih kamu beresin sampahnya? Itu kan kerjaannya c
Selama enam belas tahun di rumah, bisa dihitung berapa kali saya duduk di teras selama satu tahun. Bisa jadi tidak lebih dari sepuluh kali. Dan saat ini saya menyempatkan diri bersantai di teras rumah. Sembari menyesap es teh manis ditemani motor yang betah berlama-lama di sini sampai tengah malam. Harusnya. Ya, harusnya, malam ini jadi malam kegembiraan. Berlomba-lomba gelar sajadah di baris depan. Bersalaman dengan tetangga karena setahun sekali bisa berinteraksi. Bersyair dari kitab Tuhan. Anak-anak jagoan lawan anggota dari masjid sebelah untuk perang sarung, atau mengharap tanda tangan sang imam. Para ibu dan anak perawannya mungkin disibukkan dengan hidangan untuk jam tiga pagi. Justru hening. Tidak ada sahut-sahut kemeriahan tiap memulai rakaat di masjid. Terakhir ramai hanya saat kumandang azan penghujung hari. Yang terdengar bukan suara sendal-sendal melangkah, tapi derit engsel pintu tertutup. Aku menghela. Berharap agar setidaknya malam ini tidak amat sepi. Langit pun me